Selasa, 23 Maret 2010

Membangun Pondasi Demokrasi Sejak Dini

Membangun iklim demokrasi yang sehat, tidak terlepas dari buruknya penanaman nilai-nilai demokrasi dalam dunia pendidikan sejak dini. Ruang ruang kelas sekolah mulai dari SD, SMP s/d SMU hanyalah sebagai ruang karantina yang membunuh kreativitas dan kebebasan siswa didik, jelas tidak mencerminkan realitas sosial dan budaya dari suatu kelompok manusia. Banyak pengajar belum mampu bersikap melayani kebutuhan siswa berdasarkan prinsip kesamaan, kebebasan dan persaudaraan sebagai pilar utama demokrasi, namun lebih cenderung bersikap diktator yang menempatkan siswa sebagai objek yang bebas dieksploitasi sesuai dengan kepentingan dan seleranya.
Merupakan sebuah pemandangan yang jarang terjadi ketika seorang pengajar tidak sanggup menjawab pertanyaan muridnya, kemudian dia bersikap ksatria meminta maaf dan janji untuk menjawab pada lain waktu. Sebaliknya, ketika siswa melakukan suatu kekhilafan, tak pernah diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. Dan yang lebih sering terjadi justru pola-pola indoktrinasi bahkan dogma-dogma yang menyesatkan. Siswa diposisikan sebagai pihak yang paling bersalah dan harus menerima sanksi sesukanya, tanpa kesepakatan bersama.
Contoh, ketika ada siswa yang mencoba bersikap kritis dengan bertanya: Mengapa kalau pengajar telat tidak mendapatkan sanksi, sedangkan ketika siswa yang terlambat akan dikenakan hukuman tanpa pembelaan? Bagai seorang diktator, pada umumnya banyak pengajar akan menjawab secara dogmatis bahwa hal itu sudah menjadi peraturan yang tak bisa diganggu gugat. Benar-benar sebuah dogma menyesatkan yang bisa membunuh nilai-nilai demokrasi dalam jiwa dan kepribadian siswa.
Dengan bergulirnya iklim demokrasi di negeri ini, maka saatnya untuk dilakukan upaya serius dalam membangun demokrasi bangsa sejak di bangku SD, bahkan TK. Prinsip kesamaan hak dan kewajiban, kebebasan berpendapat dan tumbuhnya spirit persaudaraan antara siswa dan pengajar harus menjadi roh pembelajaran di kelas. Interaksi pengajar dan siswa harus merupakan subjek yang sama-sama belajar membangun jati diri, karakter dan kepribadian. Menjadi profil pengajar yang demokratis tidak mudah terwujud dengan sendirinya, namun butuh proses pembelajaran.
Ki Hajar Dewantoro sebagai bapak pendidikan kita, mewariskan semangat ing madya mangun karsa, yang intinya berporos pada proses pemberdayaan. Pengajar senantiasa membangkitkan semangat berkreasi, berprakarsa dan bereksplorasi bagi para siswa di ruang kelas, agar mereka kelak tidak menjadi manusia-manusia robot yang hanya manut pada komando. Dengan upaya seperti ini, ruang kelas akan mampu menggerakkan gairah siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan keluhuran budi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Bukan saatnya lagi, pengajar tampil sebagai diktator yang suka memenggal dan membunuh kreativitas serta kebebasan siswa dalam berpikir. Berikanlah ruang dan kesempatan kepada mereka untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang kritis dan dinamis di ruang kelas. Tugas dan fungsi pengajar, menjadi mediator dan fasilitator agar mereka tidak tumbuh menjadi pribadi-pribadi mekanistik yang miskin nurani dan antidemokrasi, ini sebuah masukan bagi dunia pendidikan kita. Kalau tidak dimulai sejak dini, kapan anak-anak bangsa ini akan belajar berdemokrasi ?